Learning Objective
1.
Jelaskan
tentang aspergillosis! (etiologi, patogenesis, gejala, gejala klinis, dan
diagnosa).
2.
Bagaimana
respon imun terhadap fungi!
3.
Jelaskan
tentang radang granulomatosa!
Pembahasan
1. Jelaskan
tentang aspergillosis! (etiologi, patogenesis, gejala, gejala klinis, dan
diagnosa).
Penyakit yang
disebabkan oleh genus Aspergillus disebut Aspergillosis. Manifestasi
Aspergillosis pada hewan meliputi mikotik pneumonia, guttural pouch mycosis,
rhinitis kronis, penyakit sistemik, penyakit kulit, alergi, aborsi,
gastrointestinal Aspergillosis, mastitis, dan keratomikosis. Secara komparatif
kasus klinis dari aspergilosis tidakbiasa dan bersifat sporadik (Quinn, 2002).
A. Etiologi
Penyakit ini pada
unggas biasanya disebabkan oleh Aspergillus
fumigatus dan Aspergillus flavus.
Organisme lain yang sering ditemukan sebagai penyebab Aspergillosis antara lain
A. terrus, A. glaucus, A. nidulans, A.
niger, A. amstelodami, dan A.
nigrescens. Aspergillus fumigatus
dan Aspergillus flavus tidak memiliki
stadium seksual sehingga digolongkan pada famili Moniciliaceae (Tabbu, 2002).
Bentuk-bentuk
Aspergillosis :
1. Aspergillosis pulmonum : ditemukan pada puyuh, kalkun,
ayam, dan penguin.
2. Aspergillosis sistemik : ditemukan pada kalkun dan ayam.
3. Aspergillosis bentuk kulit (dermal) : jarang
ditemukan, terkadang ditemukan pada merpati dan ayam. Bentuk ini ditandai
dengan dermatitis dan granulomatosa.
4. Aspergillosis bentuk tulang (osteomikosis) : ditemukan
pada ayam yang ditandai adanya infeksi Aspergillosis sp. pada tulang punggung
dan dapat mengakibatkan paralisis
5. Aspergillosis bentuk mata : ditemukan pada ayam dan
kalkun. Bentuk ini dapat bersifat unilateral dan lesi terutama pada konjungtiva
dan permukaan luar mata yang ditandai adanya eksudat kaseus yang membentuk
eksudatt kaseus atau pembentukan plaque di bawah membrana niktitan. Kontak
antara permukaan konjungtiva dengan spora jamur dari lingkungan menimbulkan
keratitis (radang kornea) dan infeksi bagian superficial mata.
Faktor-faktor
pendukung timbulnya asperegilosis adalah keadaan kandang dengan ventialasi yang
kurang memadahi, kandang berdebu, kandang dengan kelembaban tinggi dan
temperature relative tinggi (>25OC), kadar ammonia tinggi, liter
basah dan lembab, pakan lembab dan berjamur, penyakit imunosupresif, pencemaran
pada inkubator dan temperatur pemanas yang rendah pada saat pemeliharaan DOC
(Tabbu. 2002).
Cara penularan
Penularan aspergilosis
adalah dengan cara menghirup spora dalam jumlah yang banyak. Aspergillosis juga ditularkan melalui udara, kandang
atau alas kandang tercemar. Dilaporkan bahwa alas kandang sering menjadi sumber
konidia Aspergillus. Penularan lewat udara di dalam mesin tetas pernah
dilaporkan. Penularan melalui telur dapat terjadi, secara percobaan telur-telur
yang diinkubasi dengan suspense jelly petroleum mengandung konidia A.
fumigates dan infeksi meningkat apabila telur diinkubasi dalam incubator
dicemari dengan konidia A. fumigates dan dalam waktu 8 hari inkubasi
telah terjadi penetrasi jamur melalui kulit telur. Penyakit ini dapat juga ditularkan melalui telur, karena Aspergillus fumigatus dapat tumbuh di
bagian dalam telur dan dapat menurunkan daya tetas telur. Anak ayam yang menetas
dari telur tersebut berisiko terkena aspergilosis (Tabbu, 2002).
B. Pathogenesis
Aspergillosis
memperlihatkan gejala patologis sebagai berikut : terdapat lesi pada paru-paru
berupa noduli kaseus kecil berwarna kekuningan dengan diameter ± 1 mm. Lesi disertai
plaque yang terdiri atas eksudat kaseus berwarna kuning mengumpul pada daerah
koloni jamur. Noduli kaseus terdiri dari eksudat radang dan jaringan jamur.
Pada kasus yang melanjut, plaque semakin banyak dan membentuk agregat.
Perubahan
makroskopik : lesi stadium awal sangat menciri dengan timbulnya timbunan
limfosit, makrofag, dan beberapa giant cells. Pada stadium selanjutnya akan
terlihat lesi yang menjadi granuloma terdiri dari daerah nekrosis sentral
menganduung heterofil dan dikelilingi makrofag, giant cells, limfosit, dan
sejumlah jaringan ikat. Lesi pada otak terdiri dari abses dengan bagian yang
sama namun pada daerah nekrosis ditemukan hifa, pada chamber dan retina
ditemukan heterofil, makrofag, hancuran sel, dan hifa (Tabbu, 2002).
C. Gejala klinis
Masa inkubasi sekitar 4-10 hari, dan proses penyakit sekitar 2 hingga
beberapa minggu. Bentuk-bentuk penyakit aspergillosis :
1. Kronis
Aspergillosis kronis
memperlihatkan gejala berikut ini : kehilangan nafsu makan, lesu, sulit
bernafas, emasiasi, sianosis (kepala dan jengger berwarna kebiruan) dan dapat
berlanjut dengan kematian. Sering ditemukan gangguan saraf pada kalkun.
Aspergillosis dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada ayam dan
menyebabkan morbiditas-mortalitas yang rendah. Aspergillosis kronis biasanya
menyerang ayam dewasa.
2. Akut
Aspergillosis akut
memperlihatkan gejala berikiut ini : dyspnea, peningkata frekuensi pernafasan,
kehilangan nafsu makan, mengantuk, terjadi paralisis dan kejang yang disebabkan
oleh toksin dari Aspergillus sp pada otak. Pada stadium akhir penyakit terjadi
diare. Dari hidung dan mukosa mata keluar cairan berlendir.
Beberapa unggas dalam waktu 24 jam menunjukkan gejala konvulsi dan tortikolis
yang terjadi pada beberapa jenis unggas seperti ayam, kalkun dan angsa. Ayam yang terinfeksi berat biasanya akan mati
dalam waktu 2-4 minggu. Pada ayam muda aspergillosis menyebabkan
morbiditas-mortalitas tinggi (Tabbu, 2002).
D. Diagnosis
Pemeriksaan dapat dilakuakan dengan penempatan
noduli gerusan pada KOH 20% dan ditutup deck glass, dan dipanaskan dan dilihat
dalam mikroskop. Diamati kemungkinan terdapat hifa yang akan tercat biru dengan
pewarnaan tertentu. Isolasi jamur dapat dilakukan dengan kultur dalam SDA
(Sobourauds Dextrose Agar).
Pemeriksaan serologis kurang efektif. ELISA dapat
dilakukan untuk mengetahui adanya antibodi spesifik terhadap Aspergillus fumigatus dan Aspergillus flavus. Diferensial
diagnosisnya adalah daktilariosis. Dengan
AGP jamur dapat dibedakan berdasarkan garis presipitasi yang dihasilkan. Aspergillus fumigates menghasilkan garis
presipitasi sedangkan A. flavus tidak
menghasilkan garis presipitasi (Tabbu,
2002).
2. Bagaimana
respon imun terhadap fungi!
Pertemuan
pertama dengan jamur akan ditahan oleh penghalang non spesifik yang disajikan
oleh kulit utuh dan membran mukosa. Jika hal ini diatasi, penghalang berikutnya
yag ditemui adalah faktor humoral non pesifik, seperti sifat-sifat anti jamur
dari seabum. Jika hal ini teraatasi maka infeksi dapat dicetuskan. Hal ini
dapat dalam bentuk infeksi lokal seperti sariawan , atau dapat meluas seperti
halnya infeksi kutaneosa an infeksi subkutaneosa; atau dapat lebih luas lagi
dan menjadi infeksi sistemik. Lesi pulmonal dari infeksi sistemik dapat
dialokasikan dalam makrafag, misalnya pembentukna granuloma. Namun demikian
bila penghalang ini tidak efektif dapat terjadi penyebaran umum jamur ke
organ-organ yang lebih dalam, seperti otak. pada semua interaksi jamur-hospes
ini, tetapi pada infeksi yang lebih lua, dirangsang faktor-faktor imunologik
spesifik, yang terdiri dari antibodi dan hipersensitivitas lambat. Peran yang
tepat dari faktor spesifik ini pada penyembuhan infeksi belum jelas.
Bagaimanapun, imunitas seluler rupa-rupanya merupakan mekanisme efektor yang
penting pada infeksi kronik yang terletak dalam dan mungkin memaksakan
pengaruhnya dengan interaksi yang sama dengan makrofag seperti yang digambarkan
pada peyakit bakteri, (Bellanti, 1993).
Respon
imun terhadap jamur diduga melibatkan sel T dan makrofag. Infeksi jamur
biasanya hanya mengenai bagian luar tubuh saja, tetapi beberapa jamur dapat
menimbulkan penyakit sistemik yang berbahaya, biasanya memasuki paru dalam
bentuk spora.
Neutrofil
dan fagosit berperan untuk menyingkirkan infeksi jamur. Diduga mekanisme
proteksinya adalah melalui mekanisme seluler. Antibodi juga dapat ditemukan dan
diduga mempunyai peran dalam respons imun terhadap jamur (Baratawidjaja, 2004).
A. Imunitas nonspesifik
Efektor utama imunitas nonspesifik terhadap jamur
adalah neutrofil dan makrofag. Pasien dengan neutropenia sangat rentan terhadap
jamur oportinistik. Neutrofil diduga melepas bahan fungisidal seperti Reactive
Oxygen Intermediate dan enzim lisosom serta memakan jamur untuk dibunuh
intraseluler. Galur virulen seperti Kriptokok neoformans menghambat produksi
sitokin TNF dan IL-12 oleh makrofag dan merangsang produksi IL-10 yang
menghambat aktivasi makrofag (Baratawidjaja, 2004).
B. Imunitas spesifik
Cellular Mediated Immunity (CMI) merupakan efektor
imunitas spesifik utama terhadap infeksi jamur. Histoplasma kapsulatum, parasit
intraselular fakultatif hidup dalam makrofag, dieliminasi oleh efektor seluler
sama yang efektif terhadap bakteri intraseluler. CD4+ dan CD8+ bekerja sama
untuk menyingkirkan bentuk K. neoformans yang cenderung mengkolonisasi paru dan
otak pada pejamu imunokompromais.
Infeksi kandida sering mulai pada permukaan mukosa dan
CMI diduga dapat mencegah penyebarannya ke jaringan. Pada semua keadaan tersebut,
respons Th1 adalah protektif sedangkan respons Th2 dapat merusak pejamu.
Inflamasi granuloma dapat menimbulkan kerusakan pejamu
seperti pada infeksi histoplasma. Kadang terjadi respons humoral yang dapat
digunakan dalam diagnostik serologic, namun efek proteksinya belum diketahui
(Baratawidjaja, 2004).
3. Jelaskan
tentang radang granulomatosa!
Peradangan
granulomatosa adalah pola khas reaksi peradangan kronis yang ditandai dengan
akumulasi makrofag teraktivasi, yang sering mengembang seperti epitel (epiteloid). Sebuah granulomatosa adalah dokus peradangan
kronis yang terdiri dari agregasi makrofag mikroskopis yang berubah menjadi
sel-sel epitel seperti dikelilingi oleh
leukosit mononuklear terutama limfosit dan kadang-kadang sel plasma. Dalam pewarnaan HE, sel epiteloid
akan terlihat pink pucat, sitoplasma granular dan batas sel tidak jelas, sering
muncul untuk bergabung ke satu sama lain. Intinya tidak sepadat limfosit,
berbentuk oval atau memanjang. Dewasa akan mengembangkan tepi dilampiri fibroblas
dan jaringan ikat. Sel ephiteloid sering bergabung untuk membentuk sel raksasa
di pinggiran atau kadang-kadang di tengah granuloma. Sel raksasa ini dapat
mencapai diameter 40-50 mkrometer, mereka memiliki massa besar sitoplasma yang
mengandung 20 atau lebih dan dapat menjadi langerhans tipe raksasa atau yang
lain.
Daftar Pustaka
Baratawidjaja, K.G. 1982. Imunologi Dasar. Edisi Ke-6.
Jakarta: UI Press
Bellanti, Joseph A. 1993. Imunologi III. Yogyakarta:
UGM Press
Mitchell
RN, Cotran RS. 2003. Robbins Basic
Pathology: Acute and Chronic Inflammation. Philadelphia: Elsevier Saunders
Tabbu, Charles Rangga. 2002. Penyakit Ayam dan
Penanggulangannya Volume 1.
Yogyakarta : Kanisius
Quinn, P. J. 2002.
Veterinary Microbiology and Microbial Disease. UK: Blackwell Science
0 komentar:
Posting Komentar